Senin, 23 Desember 2013

Siapa Yang Dimaksud Wali Allah?



Wali adalah kekasih Allah, dimana wali dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari yang bersumber dari Abu Hurairah yaitu, “ Siapa yang memusuhi kekasih( wali)-Ku, maka ia telah menyatakan perang kepada-Ku. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan sesuatu yang paling dicintainya dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan tidak henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan sesuatu yang sunnah sehingga Aku mencintainya dan jika Aku telah mencitainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, penglihatan yang denganya ia melihat, tangannya yang dengannya ia menampar, kakinya yang dengannya ia berjalan, jika ia meminta kepada-Ku, sungguh Aku akan memenuhi permintaanya dan jika ia meninta perlindungan kepada-Ku sungguh Aku akan melindunginya dan tidaklah Aku berkali-kali mencabut sesuatu sebagaimana Aku mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman yang takut mati dan takut kejelekannya.”

            Dalam Al-Quran wali disebutkan dalam Q.S. Yunus ( 10): 62-63 yaitu “ Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Alah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak ( pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”

Pendapat ulama dalam mendifinisikan wali diantaranya dalam kitab “ Al-Wilayah” karya Abu Utsman Ash-Shabuni dituturkan, bahwa yang dimaksud dengan wali adalah orang yang senantiasa melaksanakan semua kewajiban, menjauhi yang haram, melakukan yang sunnah, hatinya terbebas dari segala penyakit, berlapang dada, berakhlak mulia, malaksanakan shalat dikeheningan malam ( Qiyamul lail), beri’tikaf untuk mendekatkan diri kepadaa-Nya, juga untuk interaksinya dengan masyarakat baik dan jujur.
Ibnul Qayyim mengatakan dalam kitab “ Madarijus saliqin” bahwa wali itu tidak harus mengenakan baju yang compang-camping, tapi ia termasuk bagian dari manusia secara umum. Ia mengenakan baju sebagaimana yang biasa dikenakan orang lain. Ia makan tak ubahnya makanan yang sering dikunsumsi orang lain, dan tidak ada yang membedakan di antara mereka kecuali amal perbuatanya dan ketakwaannya kepada Allah swt.  
Dari dua dalil Al-Quran dan Al-Hadis diatas dapat saya simpulkan bahwa yang dimaksud wali Allah ada 4 poin yang satu sama lain saling berkaitan:
                  1.      Menjalankan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah Subhanahu wata’ala.
                  2.      Melakasanakan sunnah-sunnah yang diperintahkan Allah Subhanu wata’ala.
                  3.      Orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.
                  4.      Orang yang bertakwa.
Seorang yang menjadi wali Allah maka dapat dilihat dari ciri-ciri diatas, ia selalu menjalankan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan seperti shalat, puasa, zakat, dll. Kemudian melakukan amalan-amalan sunnah seperti shalat sunnah ba’diyah qobliyah, puasa sunnah, infak dan shodaqoh, dll. Beriman kepada apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah seperti meyakini kebangkitan dari kubur, dan adanya hari akhir. Dan bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Orang-orang dalam mencari cinta Allah ada banyak macamnya dan yang terpenting dan itu dilakukan para sahabat Rasulullah adalah dengan melakukan ibadah. Karena dengan ibadah wajib dan sunnah maka itu akan menjadikan cinta Allah kepada kita sebagaimana dalam hadis diatas. Sebuah hadis yang memotivasi kita untuk melakukan ibadah sunnah, dimana hal itu bisa menjadikan kita mendapatkan kedudukan tertinggi menurut Ibnu Taimiyah dalam hal tingkatan wali Allah. Ibnu Taimiyah membagi wali menjadi 3 bagian, pertama dhalimun linafsih ( menganiaya diri mereka senderi) merupakan orang yang terkadang meniggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan dosa besar. Kedua Muqtashid ( yang pertengahan) orang yang melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan dosa-dosa besar, akan tetapi mereka terkadang meninggalkan yang sunnah dan melakukan yang makruh. Ketiga assabiquna bil khairat ( orang yang bersegera berbuat kebaikan) adalah orang yang melaksanakan semua kewajiban dan perkara yang sunnah, juga meninggalkan dosa besar, perbuatan yang haram dan yang makruh. Ibnu Taimiyah mengambil dasar dari Al-Quran “ Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu dinatara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan diantara mereka ada yang pertengahan dan diantara meeka ada( pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” ( Q.S. Fathir ( 35): 32)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar