Wali adalah kekasih
Allah, dimana wali dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari yang bersumber dari
Abu Hurairah yaitu, “ Siapa yang memusuhi
kekasih( wali)-Ku, maka ia telah menyatakan perang kepada-Ku. Tidaklah hamba-Ku
mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan sesuatu yang paling dicintainya dari apa
yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan tidak henti-hentinya hamba-Ku
mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan sesuatu yang sunnah sehingga Aku
mencintainya dan jika Aku telah mencitainya, maka Aku akan menjadi
pendengarannya yang dengannya ia mendengar, penglihatan yang denganya ia
melihat, tangannya yang dengannya ia menampar, kakinya yang dengannya ia
berjalan, jika ia meminta kepada-Ku, sungguh Aku akan memenuhi permintaanya dan
jika ia meninta perlindungan kepada-Ku sungguh Aku akan melindunginya dan
tidaklah Aku berkali-kali mencabut sesuatu sebagaimana Aku mencabut nyawa
hamba-Ku yang beriman yang takut mati dan takut kejelekannya.”
Dalam Al-Quran wali disebutkan dalam Q.S. Yunus ( 10): 62-63 yaitu “ Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Alah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak ( pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”
Dalam Al-Quran wali disebutkan dalam Q.S. Yunus ( 10): 62-63 yaitu “ Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Alah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak ( pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”
Pendapat ulama dalam
mendifinisikan wali diantaranya dalam kitab “ Al-Wilayah” karya Abu Utsman Ash-Shabuni dituturkan, bahwa yang
dimaksud dengan wali adalah orang yang senantiasa melaksanakan semua kewajiban,
menjauhi yang haram, melakukan yang sunnah, hatinya terbebas dari segala
penyakit, berlapang dada, berakhlak mulia, malaksanakan shalat dikeheningan
malam ( Qiyamul lail), beri’tikaf untuk mendekatkan diri kepadaa-Nya, juga
untuk interaksinya dengan masyarakat baik dan jujur.
Ibnul Qayyim mengatakan
dalam kitab “ Madarijus saliqin” bahwa
wali itu tidak harus mengenakan baju yang compang-camping, tapi ia termasuk
bagian dari manusia secara umum. Ia mengenakan baju sebagaimana yang biasa
dikenakan orang lain. Ia makan tak ubahnya makanan yang sering dikunsumsi orang
lain, dan tidak ada yang membedakan di antara mereka kecuali amal perbuatanya
dan ketakwaannya kepada Allah swt.
Dari dua dalil Al-Quran
dan Al-Hadis diatas dapat saya simpulkan bahwa yang dimaksud wali Allah ada 4
poin yang satu sama lain saling berkaitan:
1. Menjalankan
kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah Subhanahu wata’ala.
2. Melakasanakan
sunnah-sunnah yang diperintahkan Allah Subhanu wata’ala.
3. Orang
yang beriman kepada Allah dan hari akhir.
4. Orang
yang bertakwa.
Seorang yang menjadi
wali Allah maka dapat dilihat dari ciri-ciri diatas, ia selalu menjalankan
kewajiban-kewajiban yang diperintahkan seperti shalat, puasa, zakat, dll. Kemudian
melakukan amalan-amalan sunnah seperti shalat sunnah ba’diyah qobliyah, puasa
sunnah, infak dan shodaqoh, dll. Beriman kepada apa-apa yang dibawa oleh
Rasulullah seperti meyakini kebangkitan dari kubur, dan adanya hari akhir. Dan
bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya.
Orang-orang dalam
mencari cinta Allah ada banyak macamnya dan yang terpenting dan itu dilakukan
para sahabat Rasulullah adalah dengan melakukan ibadah. Karena dengan ibadah
wajib dan sunnah maka itu akan menjadikan cinta Allah kepada kita sebagaimana
dalam hadis diatas. Sebuah hadis yang memotivasi kita untuk melakukan ibadah
sunnah, dimana hal itu bisa menjadikan kita mendapatkan kedudukan tertinggi
menurut Ibnu Taimiyah dalam hal tingkatan wali Allah. Ibnu Taimiyah membagi
wali menjadi 3 bagian, pertama dhalimun linafsih ( menganiaya diri
mereka senderi) merupakan orang yang terkadang meniggalkan kewajiban dan
melakukan perbuatan dosa besar. Kedua
Muqtashid ( yang pertengahan) orang
yang melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan dosa-dosa besar, akan tetapi
mereka terkadang meninggalkan yang sunnah dan melakukan yang makruh. Ketiga assabiquna bil khairat ( orang yang bersegera berbuat kebaikan)
adalah orang yang melaksanakan semua kewajiban dan perkara yang sunnah, juga
meninggalkan dosa besar, perbuatan yang haram dan yang makruh. Ibnu Taimiyah
mengambil dasar dari Al-Quran “ Kemudian
kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih diantara hamba-hamba
Kami, lalu dinatara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan diantara
mereka ada yang pertengahan dan diantara meeka ada( pula) yang lebih dahulu
berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat
besar.” ( Q.S. Fathir ( 35): 32)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar